24 Juni 2019


Terkadang, kekuatan logika kita masih kalah dengan lemahnya perasaan. Berharap dapat memutar ulang waktu. Menyesal akan kesempatan-kesempatan yang terlewat. Terbayang andai-andai semu tidak berujung. Terjebak masa lalu dan sulit untuk berpindah secara utuh ke dalam waktu sekarang, saat ini. Memiliki mindfulness di tengah-tengah dunia yang semakin cepat berubah, persaingan yang semakin menantang dan berbagai macam "calon-calon" tanggung jawab yang menunggu sejalan dengan bertambah usia adalah sebuah privilige yang luar biasa.

Memilih sesuatu yang sangat erat kaitannya dengan hampir 90% hidup tentu saja selalu membingungkan. Pekerjaan apa yang harus dipilih ketika lulus nanti? karir apa yang akan digeluti? mau berkarya di bidang apa? hidup yang seperti apa yang diidam-idamkan? Terlalu sibuk "mengejar" ketertinggalan bisa berakibat kita luput untuk memikirkan hal-hal yang lebih filosofis. Tak jauh bedanya dengan mencari teman hidup. Siapa dan seperti apa? bahtera macam apa yang hendak dibangun? rute apa yang hendak dilalui untuk mencapai tujuan akhir yang seharusnya sudah "jelas".

24 Juni 2019, aku memutuskan untuk menuliskannya meski sangat sederhana. Sebuah rencana beberapa tahun mendatang aku ingin apa dan akan melakukan apa. Waktu itu, dorongan eksternal berhasil membangkitkan keberanianku untuk berani membaginya untuk selain diri sendiri. Tentu, hal itu sangat terbatas sekali ruang lingkupnya. Waktu demi waktu aku habiskan untuk mewujudkannya. Semakin cepat, semakin kuat dan semakin dekat dengan tujuan itu adalah yang selalu ada di kepala. Kenapa? karena kita dikejar tenggat.

Tenggat untuk memnuhi rencana kita, tenggat untuk membuktikan komitmen kita, tenggat untuk menunjukkan etos kerja kita, tenggat untuk meyakinkan bahwa aku lah orangnya dan tenggat ketika dipanggil untuk selama-lamanya. Kita berpacu terus dengan yang namanya waktu. Seakan-akan senin sampai minggu adalah sama. Siang dan malam tak lagi berbeda. Kuliah maupun libur hanyalah nama. Hari-hari diisi dengan belajar, bekerja dan berkarya.

Sebuah buku menuliskan bahwa "Kenangan itu selalu hadir di waktu yang tak terduga. ketika sedang menunggu antrian bis, sedang membaca, sedang istirahat sejenak bahkan sedang serius bekerja". Membunuh kenangan hanya akan membuang tenaga. Setelah dibunuh dia akan hidup lagi, lagi, dan lagi. Berlari darinya pun tidak jauh berbeda, meskipun dengan berlai menjauh darinya kita bisa mengerhakan energi kepada hal-hal yang "seharusnya" mendapatkan curahan perhatian, waktu, kasih sayang, dan kehadiran kita tetap saja suatu saat ia akan datang lagi dan menyeret kita dalam andai-andai dan ingin rasanya meminta maaf beribu kali.

Cara terbaik adalah dengan semakin menyibukkan diri untuk mewujudkan butir-butir proposal yang sudah dituliskan, merevisi poin yang sudah kurnag relevan, dan bermuhasabah apakah kita semakin mendekati tujuan yang kita idam-idamkan. Jangan pernah bunuh cita-citamu / impianmu / komitmenmu hingga hal itu sudah mentok, segala upaya sudah tidak bisa lagi dilakukan. Karena kata orang, besok-besok dia ingat dengan kita pun tidak. TAPI kita akan terus ingat akan cita-cita / impian / komitmen yang kita lepaskan sebelum mati-matian memperjuangkannya.

Teringat, aku mengawali semua ini dengan lebih baik menyesal karena pernah mencoba daripada menyesal karena tidak pernah mencoba bukan? kenapa tidak aku coba lagi di kemudian hari?

02.25 am
25 Juni 2020

Posting Komentar

Start typing and press Enter to search